Sri Suryo S
Ketika pekik “merdeka” hanya nambah pilu dihati.
Tanah, air bukan lagi milik bangsa ini.
Semua dikuasai manusia serakah.
Manusia yang dulu dibesarkan bangsa ini.
Berbalas budipun tidak…rakusnya bukan kepalang.
Ketika pekik “merdeka” hanya slogan setiap tahun.
Maka rakyat hanya cukup gembira dengan lomba sederhana tujuhbelas agutusan.
Lupa sesaat bahwa besok lusa dan hari hari berikutnya harus menjadi buruh terbuang di negeri sendiri.
Bersuarapun tidak mampu, apalagi berteriak “merdeka”
Ketika pekik “merdeka” tanpa makna.
Maka kebebasan menekan yang lemah merajalela.
Tidak penting lagi halal haram.
Perilaku buruk, kebohongan publik dan politik adu domba dipertontonkan tanpa malu.
Rakyat hanya menjadi obyek super menderita.
Ketika pekik “merdeka” hanya ada dalam mimpi.
Jangan harap rakyat akan menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Jangan harap rakyat berkuasa atas bangsa ini.
Dan jangan harap rakyat dipedulikan penguasa.
Rakyat cukup menjadi penonton dan berebut remah remah serpihan kekayaan negeri ini.
Rakyat seringkali cukup menjadi keset usang yg diinjak injak dan diangkat hanya utk dibuang.
Sudahlah jangan engkau pekikkan kata “merdeka” di telinga rakyat.
Itu hanya indah untuk engkau bukan kami rakyat Indonesia.
Rakyat tetap menjadi remahan yang engkau gunakan sewaktu waktu, itupun bukan karena engkau peduli tapi untuk kepentingan engkau semata. Jahat sekali masih saja engkau pekikkan kata “merdeka” di telinga rakyat.
“Merdeka” sebatas FATAMORGANA.
(17 Agustus 2023, 3S-triple S)