Oleh Aswar Hasan**
Galileo Galilei adalah ilmuwan sejati yang akhirnya membayar mahal sikap keilmuannya dengan nyawanya sendiri. Ia seorang peneliti yang objektif dan berintegritas.
Hasil penelitiannya membenarkan dan memperkuat postulasi Nicolaus Copernicus yang menyatakan bahwa bumilah yang mengitari matahari sebagai pusat tata surya (heliosentris) yang telah diharamkan oleh Vatikan.
Galileo adalah peletak dasar kemandirian sains, terutama fisika dan astronomi. Dia menggugat paradigma sains yang bersesuaian dengan dogma gereja tentang geosentris. Galileo pun dituduh ekstrem, radikal dan sesat.
Galileo akhirnya ditangkap dan dibawa ke Roma untuk diadili. Sidang Inkuisisi akhirnya menjatuhkan hukumannya, yaitu: 1. Galileo divonis sesat karena meyakini bumi bukan pusat alam semesta. Gereja Katolik memerintahkan untuk “mengharamkan, dan mengutuk, teori Heliosentris yang dianut Galileo. 2. Galileo dijatuhi hukuman penjara dan dia kemudian menjalani status tahanan rumah seumur hidup. 3. Buku karya Galileo yang menentang teori geosentris dilarang termasuk mempublikasikannya, dan yang akan ditulisnya di masa depan. (Bahkan ada yang menyatakan perpustakaan pribadinya dibakar).
Setelah menjalani hukuman tahanan rumah, Galileo jatuh sakit dan meninggal dunia pada 8 Januari 1642 dalam usia 77 tahun (Kompas.com, 3/2-2018).
Pada masa sulit tersebut, Galileo sempat mengirim surat ke putrinya, Maria Celeste dengan menyatakan, bahwa : “Seorang ilmuwan sejati, ibarat seekor burung Elang. Terbang tinggi, sendiri dan melanglang di angkasa sembari mengamati bumi dan sekitarnya dengan pandangan yang tajam, luas dan akurat, serta mengawasinya dengan seksama. Sedangkan ilmuwan gadungan, laksana kawanan burung gagak. Ia terbang bergerombol, berkoak-koak di angkasa, hanya membuat gaduh dengan suaranya yang memekakkan, lantas kotorannya pun berserakan di bumi tempat mereka cari hidup”.
Galileo mempersonifikasikan dirinya seperti Elang. Sementara para ilmuwan yang membeo dan tunduk patuh serta memuji dan memuja kekuasaan yang zalim ia personifikasikan sebagai burung gagak yang hanya bikin gaduh dan mengotori bumi kehidupan.
Boleh jadi, di sekitar kita, sudah ada banyak bertebaran para Ilmuwan Burung Gagak tersebut. Mereka bisa saja bercokol di kampus-kampus mentereng, dengan jubah akademiknya, sembari berfatwa dengan melegitimasi kekuasaan yang sesungguhnya zalim dengan modus otoritarianisme yang terselubung di balik pencitraan, dan rakyat pun mempercayainya, karena para intelektual burung gagak tersebut kerjanya berkoak-koak memberi legitimasi -pembenaran- dengan aneka bumbu pujian segala. Rakyat pun terbuai dibuatnya.
Sementara itu, kaum intelektual burung elang dimata-matai ruang geraknya, sembari diteror dengan modus yang canggih tak terdeteksi. Pekikanya pun tidak dilantangkan, nyaris tak terdengar, sehingga tak mempan mempertakuti para pembuat onar di muka bumi. Kaum intelektual burung elang pun makin tersudut, dan pekikan peringatannya, nyaris tak terdengar, ditenggelamkam oleh kegaduhan koakan para intelektual burung gagak. Galileo berhasil memilih personifikasi yang tepat. Sayangnya, hidupnya berakhir tragis, mati dalam pengasingan yang terisolasi dengan masyarakatnya, tempat dia mengabdi dan berjuang.
Sejarah penghikmatan pada kebenaran oleh kaum intelektual sejak Abad sebelum Masehi, sudah mengisahkan tragedi pembungkaman yang kejam, sebagaimana dialami oleh Socrates. Ia dihukum mati melalui pengadilan dengan menghadapi 3 penuntut dan 500 juri. Semua dakwahan yang menuduh Socrates sebagai radikal, ektrem dan menyesatkan generasi muda di Athena yang di sampaikan selama 3 jam, dijawab tuntas oleh Socrates selama 3 jam juga. Akhirnya ketetapan vonis bersalah ditentukan oleh para Juri yang jumlahnya 500 orang. 280 yang menyatakan bersalah sementara sisanya (220) menyatakan tidak. Socrates pun dihukum mati dengan cara meminum racun hemlock. Sebelum menjalani hukuman mati, Crito sahabat Sokrates menawarinya Jalan keselamatan dengan cara diam-diam pergi meninggalkan Athena. Tapi ditolak oleh Socrates, dan lebih memilih mati secara jantan dan terhormat atas nama kebenaran yang dengan gigih ia perjuangkan.
Sikap dan pirinsip keilmuan Socrates, juga sama dengan sikap dan pirinsip Copernicus hingga Galileo. Teguh pada kebenaran yang diyakininya, hingga akhir hayat. Kita optimis masih ada tersisa ilmuwan sejati di Persada Negeri ini. Hanya saja memang suara mereka nyaris tidak terdengar, karena telah teredam oleh kegaduhan koakan suara para Intelektual burung gagak yang bolak balik bertandang antara Istana dan Kampus. Mungkin negeri ini butuh intelektual martir seperti Socrates atau Galileo.
Akhirnya, sejarah pun mencatat, bahwa pada tanggal 31 Oktober 1992, Paus Yohanes Paulus II menyatakan penyesalan atas apa yang dilakukan Gereja Katolik terhadap Galileo dan menyatakan bahwa Gereja Katolik telah melakukan kesalahan saat menghakimi pandangan keilmuan Galileo. Kebenaran pun menyata, meski pun terlambat. Tapi itu masih baik, dari pada tidak sama sekali. Maka janganlah menjadi penghalang suara kebenaran sepanjang hidup, karena akan berujung kerusakan dan penyesalan yang sulit temaafkan. Wallahu A’lam ______
* Telah dimuat di Harian Fajar, 9 Mei 2022.
** Penulis adalah Dosen Fisip Unhas Makasar & Anggota ICMI Sulsel.